Monday, March 23, 2020

Membahagiakan Orang Lain

Membahagiakan Orang Lain

hari selasa kemarin adalah hari pasar. saya diajak emak–panggilan nenek mertua–untuk berbelanja ke pasar sekaligus jalan-jalan kecil karena kehamilan saya sudah mulai memasuki usia enam bulan.

satu hal. ketika saya pergi dengan emak–baik itu pengajian di masjid, pergi ke tetangga yang sedang sakit atau sejenis–saya harus siap-siap banyak berhenti di tengah jalan. pernah melihat semut yang ketika berpapasan dengan semut lain selalu menyempatkan ‘bersalaman’ sebentar? itulah emak. selalu menyapa temannya dengan wajah yang sangat bahagia.

lebih dari menyapa dengan wajah bahagia, ketika bertemu dengan teman-temannya di pasar kemarin, emak juga membeli dagangan teman-temannya. beberapa teman emak memang suka berjualan jajanan tertentu di hari pasar.

“sehat, ceu? lagi apa nih, ke pasar?” tanya emak, dalam logat dan bahasa sunda tentunya.

“ini jualan jajanan.” jawab temannya sembari menunjukkan bingkisan jajanan dalam sebuah mika–kulit jeruk bali yang diolah dengan gula.

“eneng, mau?” pertanyaan emak membuat saya tersentak.

saya kalau nggak pingin jajan pasti nggak akan dibeli. saya pikir, daripada nggak kemakan di rumah. saya pikir, daripada mubadzir. kan, boros juga.

ketika itu, saya hanya senyum. tidak mengiyakan dan tidak bilang tidak karena ragu. tapi sebelum saya menjawab, emak langsung bilang, “yaudah, ceu. beli satu.” emak segera mengambil uang dari dalam kantong bajunya.

kami melanjutnya keliling pasar untuk membeli beberapa bumbu dan sayuran. hal yang sama terjadi. emak membeli dagangan beberapa orang yang menjual kerupuk, serta jajanan-jananan serupa–yang tak lain adalah dagangan teman-temannya sendiri. bukan karena pingin, tapi untuk menglariskan dagangan mereka.

sampai rumah emak juga nggak bakal dimakan sendiri. alih-alih disimpan untuk besok-besok, emak justru langsung memberikannya kepada tetangga yang main ke rumah. semuanya tanpa rasa eman. tanpa takut habis. tanpa takut nggak kebagian.

seringkali saya menjumpai emak seperti itu. apapun dilakukan, yang terpenting orang lain bahagia. dan ketika saya menjumpai emak yang membuat orang lain bahagia, wajah emak tampak begitu sumringah. terlihat ceria sekali.

hal yang jarang saya temukan dari orang lain. membuat bahagia orang lain akan berdampak bahagia pada diri kita. bukan untuk dipuji orang lain. tapi berbuat kebaikan hanya untuk berbuat kebaikan. juga bukan sekadar untuk memenuhi kesenangan pribadi.

saya tak melihat emak ingin dibilang baik, ingin dipuji karena berbuat kebaikan. saya melihat emak, berbuat baik ya, untuk berbuat baik.

terlebih saya juga jarang memiliki pikiran. beli makanan banyak tak akan mubadzir. nanti bisa diberikan kepada orang lain lagi. dan orang lain pasti senang sekali mendapatkan makanan.

saya masih harus banyak sekali belajar kepada emak arti ketulusan dan keikhlasan yang sesungguhnya. arti kebaikan dan kebahagiaan yang sebenarnya.

sebab kadang-kadang, kebaikan yang saya lakukan masih agar dilihat dan dipuji orang lain–dan hanya untuk memenuhi ego dan nafsu saya. bukan untuk memenuhi kebahagiaan orang lain semata. bukan untuk kebaikan semata.

benar saja ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah tentang, di antara banyak amalan dari Nabi Musa, amalan mana yang Allah senangi? apakah shalat, dzikir atau puasa?

tak disangka, Allah menjawab bahwa semua amalan yang disebutkan Nabi Musa ternyata tak sepenuhnya membuat Allah senang. sebab amalan seperti shalat, dzikir, puasa dan semacamnya, pada hakekatnya untuk diri sendiri. bukan untuk Allah.

dan kata Allah lagi, ibadah hamba yang paling Allah senangi adalah ketika seseorang yang membuat bahagia orang lain–yang sedang sedih, yang sedang gundah. saat itulah Allah bersamanya.

*Naily Makarima